Suara Marind

Sagu Bakar Dibawa Sang Anjing
Home » Cerita Rakyat  » Sagu Bakar Dibawa Sang Anjing

"Diskriminasi adalah senjata mematikan. Manusia wajib dihargai, sebab mereka adalah harta paling berharga di hadapan Allah Sang Pencipta."

Di masa lalu, sebelum dunia berubah seperti sekarang, di tanah Sanggahe, Distrik Okaba, hiduplah sebuah komunitas yang dikenal sebagai Wolon. Mereka adalah para pemburu, penokok sagu, dan penangkap ikan di rawa-rawa.

Namun, di tengah kehidupan mereka, ada ketidakadilan yang terukir dalam tradisi. Para laki-laki hidup dalam kelimpahan, sedangkan kaum perempuan dan orang tua hanya menerima sisa-sisa. Hasil buruan hanya boleh dimakan oleh anak laki-laki. Setiap hari, para bapak dan anak laki-laki pergi berburu, sementara kaum ibu dan anak perempuan mencari ikan di rawa. Mereka bekerja keras, tetapi hak mereka diabaikan.

Di tengah keheningan malam, seorang tete (kakek bijak) yang memiliki ilmu gaib memandang kaum perempuan dengan tatapan iba. Ia tidak bisa lagi melihat penderitaan mereka.

"Sudah cukup," bisik Tete kepada seorang ibu tua. "Kalian harus pergi. Aku akan membantu kalian menghilangkan jejak."

Malam itu, secara rahasia, ia berkumpul bersama kaum ibu dan nenek-nenek. Mereka harus pergi sebelum fajar menyingsing.

"Kita harus menokok sagu dan membakarnya hingga kering. Ini akan menjadi bekal perjalanan," bisik seorang ibu.

Dengan penuh hati-hati, mereka bekerja dalam senyap. Tidak ada yang boleh tahu, terutama para laki-laki. Pagi harinya, suara pengumuman menggema di seluruh kampung.

"Besok kita berburu di dusun jauh! Siapkan perlengkapan kalian!" seru seorang lelaki.

Mendengar itu, hati para perempuan berbunga. Ini saat yang tepat untuk pergi. Malam itu, tidak ada yang bisa tidur. Ada harapan yang menyala di mata mereka. Keesokan paginya, begitu para lelaki masuk ke hutan, para perempuan segera mengumpulkan barang-barang mereka. Sagu bakar mereka masukkan ke dalam noken, sementara anak-anak digandeng erat.

"Kita berangkat sekarang!" bisik salah seorang ibu.

Di bawah perlindungan seekor anjing, mereka berjalan menyusuri tepi sungai, melintasi rawa, menuju tepi pantai barat.

Anehnya, setiap langkah mereka tidak meninggalkan jejak.

"Tete pasti telah memakai ilmunya," gumam seorang nenek sambil menatap ke belakang.

Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah tempat di belakang Kampung Wamal. Di sana, mereka beristirahat, napas mereka tersengal, namun hati mereka tenang. Mereka telah bebas. Di sisi lain, para lelaki pulang dari berburu dengan tangan kosong. Namun, yang mereka dapati di kampung bukanlah keceriaan, melainkan keheningan yang menyesakkan.

"Mana ibu? Mana nenek? Mana anak perempuan kita?" tanya seorang anak laki-laki, suaranya bergetar.

Namun, tidak ada jawaban. Hanya angin yang berbisik di antara rumah-rumah kosong. Mereka mencari ke segala penjuru, tetapi tak menemukan satu jejak pun.

Saat itulah mereka sadar. Mereka telah kehilangan ibu mereka, saudara perempuan mereka, dan kasih sayang yang selama ini tak mereka hargai.

Dan sejak saat itu, para lelaki Wolon hidup dalam kehampaan, membentuk komunitas baru tanpa sentuhan lembut seorang ibu, tanpa kehangatan kasih seorang perempuan. Mereka yang dulu kuat, kini merana. Sementara itu, para perempuan yang pergi membangun kehidupan baru di negeri yang jauh, meninggalkan jejak yang tetap dikenang hingga kini.