Suara Marind

Qaraipe
Home » Cerita Rakyat  » Qaraipe

Qaraipe adalah perempuan yang malang, hidup di Kampung Ipah, sebuah desa kecil di Distrik Waan. Di kampungnya, semua perempuan menemukan pasangan hidup melalui perjodohan yang diatur oleh orang tua. Namun, Qaraipe berbeda. Ia tidak pernah dijodohkan, tidak ada pria yang tertarik padanya. Keadaan ini membuatnya menjadi sasaran cemoohan dan iri hati dari perempuan-perempuan lain di kampung. Setiap hari, Qaraipe dihina dan dianiaya. Mereka menganggapnya sebagai ancaman, bukan karena Qaraipe cantik atau kaya, tapi karena suami-suami mereka sering melihat ke arah Qaraipe dengan mata penuh rasa penasaran.

Cemburu membakar hati para perempuan itu, dan dalam amarah yang membara, mereka sering memukul Qaraipe hingga tubuhnya penuh dengan luka, bekas pukulan yang disebut "basa Tor" dalam bahasa setempat. Malam demi malam, Qaraipe menangis di bawah sinar bulan, meratapi nasibnya yang kelam. Hingga suatu malam, di bawah pohon besar yang tumbuhdi tepi kampung, seorang perempuan mendekatinya.

‘Wanita Kampung: "Qaraipe, kau takkan pernah mendapatkan jodoh! Bahkan jika kau pergi ke ujung dunia, tak ada pria yang akan menginginkanmu!" katanya dengan nada penuh ejekan, menatap Qaraipe dengan tatapan merendahkan.

Qaraipe hanya menunduk, menahan tangis yang hampir pecah. Di dalam hatinya, ia merasa hancur. Qaraipe (dalam hati): Kenapa aku? Apa salahku sehingga mereka begitu

membenciku?* pikirnya. Malam itu, Qaraipe memutuskan untuk pergi. Ia tak tahan lagi tinggal ditempat yang hanya memberinya luka, baik fisik maupun batin. Secara diam-diam,Qaraipe mengumpulkan sedikit bekal: dua sisir pisang—yang disebut "CanceKafe" dalam bahasa Tor—dan sebotol air dalam wadah yang disebut "Chuobu."

Dengan langkah ringan dan hati berat, ia meninggalkan kampung saat dini hari, tepat ketika bintang fajar baru saja muncul di langit, pada waktu yang disebut "Comuru Pecata," saat semua orang tertidur lelap karena kedinginan. Qaraipe (berbisik pada dirinya sendiri): "Aku harus pergi. Aku tak bisa lagi tinggal di sini," ujarnya sambil menatap kampung untuk terakhir kalinya.

Ia berjalan menyusuri pesisir pantai, membiarkan angin malam yang dingin menyentuh wajahnya. Setelah perjalanan panjang, Qaraipe akhirnya tiba di Akos, tempat yang sekarang dikenal sebagai Tanjung Salak. Di sana, ia membangun gubuk kecil dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Ini akan menjadi tempat tinggalnya yang baru, tempat di mana ia berharap bisa menemukan kedamaian.

Hari-hari berlalu, dan Qaraipe mengisi waktu dengan bermain. Ia membuat gelang dari daun nipa yang kering, sebuah permainan sederhana namun penuh kegembiraan. Gelang itu ia lepaskan ke udara, membiarkannya berputar tertiup angin, dan ia berlari mengejarnya sambil bernyanyi lagu yang ia ciptakan sendiri.

Qaraipe (bernyanyi): "Nai muha behwanbengkumba kura darimber..." yang artinya, di seberang sana ada laki-laki yang suka dengan saya, ka'.

Namun, kebahagiaan kecil itu tak berlangsung lama. Pada suatu hari, saat Qaraipe sedang beristirahat di gubuknya setelah seharian bermain, tiba-tiba ia mendengar suara asing memanggilnya.

Tumu: "Hai, engkau bangunlah!" suara itu terdengar jelas, membuat Qaraipe terkejut.

Dengan cepat, ia bangun dan melihat ke arah suara. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang belum pernah ia temui sebelumnya. Ketakutan langsung menguasai dirinya.

Qaraipe: "Siapa kau? Tolong, jangan sakiti aku. Aku lari dari kampungku karena mereka sering menyakitiku. Aku hanya ingin hidup tenang di sini," jawabnya dengan suara gemetar.

Namun pria itu tersenyum lembut, berusaha menenangkan Qaraipe.

Tumu: "Jangan takut. Aku bukan datang untuk menyakitimu. Aku sudahmemperhatikanmu selama beberapa hari. Setiap kali kau bermain di pantai dan menyanyi, aku merasa tertarik. Aku datang untuk menemanimu, bukan untuk melukaimu."

Qaraipe terdiam sejenak, merasa bingung. Ia memandang pria itu, mencoba memahami niatnya.

Qaraipe: "Namamu siapa?" tanyanya dengan suara pelan.

Tumu: "Namaku Tumu. Dan kau, siapa namamu?"

Qaraipe: "Aku Qaraipe," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Hari demi hari, Tumu dan Qaraipe mulai hidup bersama. Tumu selalu memperhatikan Qaraipe dengan penuh kasih, sementara Qaraipe merasa hidupnya mulai berubah lebih baik. Namun, suatu hari, Qaraipe mulai merasa ada yang aneh dengan Tumu. Setelah makan, Tumu tidak seperti orang lain; dia hanya menggerakkan tubuhnya seolah ingin mengeluarkan sesuatu, tetapi tak pernah melakukannya.

Qaraipe (dalam hati): Kenapa suamiku tidak pernah... seperti manusia lainnya? pikirnya dengan penuh keraguan.

Akhirnya, Qaraipe memutuskan untuk mencari tahu. Suatu hari, ia menyiapkan jebakan dengan kayu tajam, memasangnya di tempat duduk Tumu. Saat Tumu pulang dari perjalanan ke seberang, Qaraipe menyuruhnya duduk.

Qaraipe: "Cimam, duduklah di sini sebentar," pintanya.

Tumu menurut. Namun begitu ia duduk, kayu tajam itu menancap di tubuhnya, membuatnya menjerit kesakitan.

Tumu: "Nandara! Nandara! Nandara!" teriaknya, yang dalam bahasa Qaraipe berarti "pindah-pindah."

Tumu akhirnya mengeluarkan kotorannya, dan Qaraipe segera merawatnya. Namun setelah kejadian itu, Tumu merasa malu dan hanya keluar pada malam hari untuk mencari makan, seperti kelelawar yang bersembunyi di siang hari. Waktu terus berlalu, dan akhirnya Tumu mengajak Qaraipe untuk menyeberang ke Pulau Aru, tempat asalnya. Mereka merencanakan perjalanan, tetapi sebelum mereka sempat pergi, keluarga Qaraipe datang mencarinya, mengajak Qaraipe kembali ke Kampung Ipah.

Keluarga Qaraipe: "Kau ingin pulang, Qaraipe? Bagaimana kau bisa hidup di sini sendirian?" tanya salah satu dari mereka.

Namun Qaraipe menolak. Ia lebih memilih untuk pergi bersama Tumu, pria yang telah membuatnya merasa damai.

Qaraipe: "Aku lebih memilih ikut suamiku," jawabnya mantap.

Keluarga Qaraipe akhirnya menerima keputusan itu, dan cerita tentang perjalanan Qaraipe dan Tumu menjadi legenda yang diceritakan turun-temurun di antara masyarakat Kampung Ipah dan Pulau Aru. Kini, setiap kali orang-orang dari Kimahima dan Aru saling bertemu, mereka menyapa satu sama lain dengan

panggilan penuh hormat: "Moyang."

(Diadaptasi dari Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Malind oleh Drs. Ayub Peday, MM; Williborus Kanggam, S. Sos; Yoseph M.Mahuze, SE. Par; dan Alexius D. Ronggo, S.Si.)