Di tanah Papua yang masih liar dan penuh misteri, hiduplah seorang pemuda bernama Alamem. Ia adalah seorang petualang, cerdik dan licik, terkenal di berbagai kampung sebagai perayu wanita ulung. Namun, di balik tutur katanya yang manis, tersimpan kebohongan yang sering kali menyakiti hati orang lain.
Suatu hari, saat berjalan menyusuri pesisir pantai, Alamem tiba di dusun Yonggoghr’ Otih, dekat Pulau Ghr’abe. Setelah perjalanan panjang, ia beristirahat sambil mengawasi sekeliling. Ia berharap menemukan seorang gadis yang bisa ia rayu, tetapi tidak seorang pun datang menghampirinya.
"Ah, tidak ada wanita di sini? Bagaimana aku bisa bersenang-senang?" gumamnya.
Dengan akalnya yang licik, Alamem membangun sebuah menara dari buah kumbili, setinggi tiga hingga empat meter. Dari puncaknya, ia mengamati pulau di kejauhan, lalu matanya menangkap sesuatu—seorang wanita sedang menokok sagu di pinggir hutan pulau itu. Jantungnya berdegup cepat. Ia melambai dan memanggil.
Alamem: "Hei, wanita cantik! Aku di sini! Lihatlah aku!"
Namun, wanita itu, Ghr’alau, tidak menanggapi. Ia terus bekerja seolah-olah tidak mendengar panggilannya. Alamem berpikir keras.
Bagaimana caranya supaya dia memperhatikanku?
Lalu ia mendapat ide licik lainnya.
Alamem: "Ndambahin naweheb uhe Ght’alau uhe? (Bagaimana caranya supaya dia percaya?)
"Ayi iwag en wanugu makin kalemed!" (Atau aku harus pakai pakaian perempuan?)
Tanpa ragu, ia mengenakan atribut perempuan, lalu berenang menuju Pulau Ghr’abe. Saat tiba, dengan suara lembut, ia berbicara kepada Ghr’alau.
Alamem (bersuara lembut): "Oh, saudariku, aku baru tiba dari jauh… sendirian… Aku lelah dan lapar. Bolehkah aku beristirahat di sini bersamamu?"
Ghr’alau menatapnya curiga, tetapi akhirnya mengangguk.
Ghr’alau: "Baiklah. Tapi jangan macam-macam."
Hari demi hari, Alamem terus menunjukkan sikap baik, hingga akhirnya Ghr’alau jatuh hati padanya. Mereka pun hidup bersama di Menara Kumbili, mencari makan dari umbi-umbian dan berburu di hutan. Tak lama kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Suatu hari, datanglah seorang wanita dari Kampung Onggari—saudari kandung Alamem yang bernama Alisan. Namun, Alamem merahasiakan kedatangannya dari Ghr’alau. Setiap malam, saat Ghr’alau tertidur, Alamem berubah menjadi seekor ular dan bersembunyi di batang pandan berongga. Ketika mereka keluar berburu, anak mereka tetap terjaga dan rumah selalu bersih. Ghr’alau mulai curiga.
Ghr’alau (berpikir): "Tidak mungkin burung bisa membersihkan rumah dan memandikan anakku…"
Suatu pagi, ketika Alamem bersiap pergi berburu, Ghr’alau berpura-pura menurut. Namun, begitu Alamem sibuk menggali tanah untuk menangkap Tuban, Ghr’alau berlari kembali ke rumah. Saat ia tiba, betapa terkejutnya ia—di dalam rumahnya ada seorang wanita tinggi besar yang cantik!
Ghr’alau (berteriak): "Siapa kau?! Kenapa kau ada di rumahku?!"
Wanita itu terdiam, tetapi dari sorot matanya, Ghr’alau tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Tanpa pikir panjang, Ghr’alau meraih sepotong nibung yang tajam seperti parang dan mengayunkannya ke kepala wanita itu. Alisan menjerit. Darah mengalir membasahi tanah. Ia jatuh, tidak lagi bernapas.
Saat Alamem kembali dan melihat saudarinya telah mati, ia tidak marah. Ia hanya berdiri diam, menatap tubuh Alisan yang telah terbujur kaku. Dengan tenang, ia menggali tanah dan menguburkan jasad Alisan dengan tangannya sendiri. Sebelum pergi, ia berbisik kepada makam saudarinya.
Alamem: "Saudariku, jika kau kembali ke Onggari, wujudmu menyerupai saham. Aku akan menunggumu di Sungai Mbian."
Tanpa berkata apa-apa lagi kepada Ghr’alau dan anaknya, Alamem pergi, meninggalkan mereka berdua selamanya.