Di sebuah kampung yang terletak di tepian Danau Rawa Biru, hiduplah seorang nona bernama Miae. Ia adalah gadis yang baik hati, rajin membantu keluarganya, dan mahir dalam mengolah sagu—bahan pangan utama penduduk di kampungnya. Kulitnya dulu halus dan bersih, serta rambut hitam panjangnya selalu terurai indah. Namun, suatu hari, tanpa sebab yang jelas, tubuhnya mulai ditumbuhi bercak-bercak kasar. Penyakit kulit yang disebut "eskadu" oleh penduduk setempat itu membuatnya dijauhi.
"Wanita cantik harus punya kulit bersih," begitu kata para lelaki muda di kampungnya. Mereka yang dulunya sering bercanda dengannya kini mulai menjaga jarak. Anak-anak kecil yang dulu senang mendengarkan cerita Miae juga mulai menghindar. Bahkan, beberapa perempuan tua mulai berbisik-bisik saat melihatnya lewat.
"Mungkin dia dikutuk," ujar seorang ibu paruh baya kepada temannya.
"Atau dia sudah melanggar adat," balas yang lain dengan suara lirih.
Miae merasa terasing di kampungnya sendiri. Tidak ada satu pun lelaki yang mau mendekatinya untuk melamarnya, padahal usianya sudah cukup untuk berkeluarga. Setiap malam, ia menangis diam-diam, meratapi nasibnya. Hingga suatu hari, ia mengambil keputusan besar—ia akan meninggalkan kampung halamannya.
Sebelum pergi, ia mengumpulkan semua sagu yang bisa dibawanya. Dengan penuh kesabaran, ia memasukkan sagu ke dalam noken yang dibuatnya sendiri, mengikat eratnya di punggungnya. Miae tidak ingin pergi dengan tangan kosong. Ia merasa sagu dari Rawa Biru adalah satu-satunya warisan yang bisa ia bawa sebagai bekal perjalanan panjangnya.
Perjalanan ke Salor tidaklah mudah. Ia harus melewati hutan lebat, menyeberangi sungai dengan perahu kecil, dan menempuh jalan yang jarang dilalui manusia. Namun, tekadnya sudah bulat. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan Rawa Biru dan berjalan ke arah barat menuju Salor.
Sesampainya di Salor, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Tobe. Berbeda dengan lelaki di kampungnya dulu, Tobe tidak memandangnya dengan tatapan jijik atau penuh kasihan. Ia justru kagum dengan keberanian Miae yang berjalan jauh seorang diri.
"Kamu datang dari jauh, nona?" tanyanya suatu hari.
Miae mengangguk pelan. "Saya dari Rawa Biru. Saya tinggalkan kampung karena tidak ada yang mau terima saya di sana."
Tobe tersenyum lembut. "Di sini semua orang punya nilai. Tidak ada yang ditolak hanya karena kulitnya."
Hati Miae terasa hangat mendengar kata-kata itu. Di Salor, ia tidak lagi dipandang sebelah mata. Ia mulai menanam sagu di lahan yang luas, dan tak disangka-sangka, sagu yang ia bawa dari Rawa Biru tumbuh subur di tanah Salor. Orang-orang pun berbondong-bondong membantunya, dan tak lama kemudian, Salor menjadi tempat dengan hasil sagu yang melimpah.
Tobe, yang semakin lama semakin dekat dengan Miae, akhirnya melamarnya menjadi istri. Hidup Miae berubah. Ia yang dulu diasingkan, kini menemukan kebahagiaan.
Namun, sebuah keanehan terjadi. Sejak kepergian Miae, pohon sagu di Rawa Biru tak lagi tumbuh subur seperti dulu. Para tetua mulai berbisik bahwa tanah itu telah kehilangan berkatnya, karena Miae telah membawa pergi semua sagu yang ada.
"Ini mungkin hukuman bagi kita karena menolak Miae," kata salah seorang tetua.
Sejak saat itu, Rawa Biru tak lagi dikenal sebagai tanah yang subur bagi sagu. Sementara di Salor, pohon sagu tumbuh dengan baik, seolah membawa berkah dari seorang gadis yang dulu terusir dari kampungnya sendiri.
Miae mungkin telah kehilangan tempat di kampung asalnya, tetapi di tempat yang baru, ia menemukan rumah sejati dan kebahagiaan yang tidak pernah ia duga.