Suara Marind

Kangkune Si Penjaga Hutan
Home » Cerita Rakyat  » Kangkune Si Penjaga Hutan

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua, yang biasa dipanggil Tete dan Nenek oleh orang-orang di kampung. Mereka adalah orang yang sangat terampil dalam mencari ikan dan sudah terbiasa berburu di hutan.

Suatu hari, mereka memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari ikan dengan cara mentuba—yaitu menggunakan akar dari pohon tembakau tertentu yang dapat membuat ikan pingsan. Teknik ini telah digunakan turun-temurun oleh orang-orang di kampung mereka.

Saat matahari mulai meninggi, mereka sampai di sebuah sungai yang jernih di tengah hutan. Tete dengan cekatan menggiling akar tembakau, mencampurnya dengan air, lalu menuangkannya ke sungai. Dalam hitungan menit, ikan-ikan mulai mengapung ke permukaan. Dengan sigap, mereka menangkap ikan-ikan yang pingsan itu dan memasukkannya ke dalam keranjang rotan yang mereka bawa.

Setelah berhasil mendapatkan banyak ikan, mereka membuat perapian kecil di tepi sungai. Mereka menyalakan api, membakar beberapa ikan untuk dimakan, dan setelah perut mereka kenyang, mereka mengambil wati, sejenis minuman keras yang terbuat dari tanaman wati.

Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, suara gemericik air sungai membuat mereka semakin nyaman. Satu teguk, dua teguk, tiga teguk… Hingga akhirnya, mereka mulai merasa mabuk. Perlahan, mata mereka tertutup dan mereka tertidur lelap di tepi sungai dengan api perapian yang masih menyala di samping mereka.

Di tengah keheningan malam, langkah kaki berat terdengar mendekati mereka. Dari balik pepohonan besar, muncul sosok tinggi besar dan botak. Tubuhnya tegap, kulitnya seperti kayu yang keras, dan tatapannya tajam seperti elang. Dialah Kangkunen, sang Penjaga Hutan.

Orang-orang desa sering mendengar kisah tentangnya, tetapi tidak banyak yang pernah melihatnya secara langsung. Ia adalah roh penjaga yang dipercaya melindungi hutan dari kerusakan, menjaga keseimbangan alam, dan menghukum siapa saja yang merusak keharmonisan hutan.

Melihat Tete dan Nenek tertidur pulas karena mabuk, Kangkunen merasa ingin mengerjai mereka. Dengan langkah tenang, ia mengambil akar rotan, lalu memanaskannya di atas api perapian yang mereka buat. Setelah akar rotan cukup panas, ia menyentuhkannya perlahan ke leher Tete.

"Aduh!" Tete mengerang kesakitan, tapi karena masih mabuk, ia hanya menggerutu sebentar, menggaruk kakinya, lalu kembali tidur. Kangkunen tersenyum kecil melihat reaksinya. Namun, ia tidak menyerah. Kali ini, ia melakukan sesuatu yang lebih drastis.

Ia berjalan ke arah perapian dan menyapu seluruh kayu bakar ke dalam sungai. Seketika, kegelapan menyelimuti sekitar mereka. Tete terbangun lagi, merasa kedinginan karena api sudah padam. Dengan sisa kesadaran yang ada, ia meraba-raba tanah di sekelilingnya untuk mencari ranting kering dan kembali menyalakan api. Begitu api mulai menyala, Kangkunen kembali melemparkan kayu bakar itu ke dalam sungai.

Tete kebingungan. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, tetapi pikirannya masih kabur karena pengaruh wati. Ia berulang kali mencoba membuat api, tetapi setiap kali berhasil, api itu selalu lenyap dengan cara yang misterius. Hingga akhirnya, dalam usaha ke sekian kalinya untuk menghidupkan api, Tete menoleh ke samping… dan di sanalah ia melihat sosok tinggi besar berdiri di sampingnya! Kangkunen menatapnya tajam.

Tete yang masih setengah mabuk terkejut bukan main. Dalam refleks panik, ia meraih sebatang kayu yang ada di dekatnya dan mengayunkannya keras-keras ke kepala Kangkunen!

Bukk! Kangkunen terjungkal ke belakang. Keseimbangannya goyah, ia terjatuh ke dalam air terjun yang berada tidak jauh dari sana! Tete terengah-engah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, karena masih dalam keadaan mabuk, ia pun kembali tertidur pulas di tepi sungai.

Keesokan paginya, Tete dan Nenek terbangun dengan kepala yang masih pusing akibat mabuk semalam. Mereka saling berpandangan, lalu mengingat kejadian aneh yang mereka alami. Dengan membawa ikan hasil tangkapan mereka, mereka bergegas kembali ke kampung dan menceritakan kejadian tersebut kepada semua orang.

Orang-orang kampung terkejut dan takjub. Mereka percaya bahwa Tete dan Nenek telah bertemu dengan Kangkunen, sang Penjaga Hutan.

Sejak hari itu, kisah tentang Kangkunen menyebar luas di seluruh desa. Orang-orang percaya bahwa ia benar-benar ada, dan bahwa kehadirannya selalu dapat dirasakan. Tanda keberadaan Kangkunen adalah jika ada burung kuning terbang di sekitar hutan. Jika burung kuning itu terlihat, berarti Kangkunen sedang mengawasi hutan, memastikan tidak ada yang merusak keseimbangannya.

Sejak kejadian itu, orang-orang desa menjadi lebih berhati-hati dalam memperlakukan hutan. Mereka tidak lagi serakah saat berburu ikan atau mengambil kayu, karena mereka tahu bahwa Kangkunen selalu ada, mengawasi mereka dalam diam.