Suara Marind

Janji Ajaib Seorang Sahabat
Home » Cerita Rakyat  » Janji Ajaib Seorang Sahabat

Di suatu masa yang jauh sebelum agama masuk ke tanah Marind, di sebuah kampung bernama Wawel, hiduplah dua orang sahabat yang tak terpisahkan. Mereka bernama Yawi dan Kanu. Sejak kecil, mereka selalu berbagi suka dan duka, berburu bersama, mencari sagu bersama, bahkan menghadapi bahaya bersama. Mereka berdua memiliki sebuah janji yang selalu mereka ucapkan di bawah pohon besar di tepi kampung mereka.

"Teman, ingat, jika saya mati, saya akan tetap menemuimu di tempat ini," kata Yawi suatu hari sambil menepuk bahu Kanu.

Kanu tertawa kecil, "Ko gila, ah! Tapi kalau memang begitu, saya tunggu. Janji laki-laki harus ditepati!"

Mereka tertawa bersama, tidak tahu bahwa janji itu suatu hari akan benar-benar diuji.

Musim berburu tiba. Seperti kebiasaan para pria di kampung Wawel, mereka pergi ke hutan untuk berburu rusa dan babi hutan. Dalam perjalanan, mereka menghadapi berbagai rintangan, tetapi Yawi dan Kanu tetap bersama. Namun, malapetaka datang tanpa diduga. Saat berburu di dalam hutan lebat, Yawi diserang oleh seekor babi hutan yang marah. Ia terluka parah di dada dan tidak bisa diselamatkan.

Kanu mengguncang tubuh sahabatnya yang terkapar di tanah, matanya basah oleh air mata. "Yawi! Ko jangan mati, e! Bangun!" serunya, namun sia-sia. Nafas Yawi melemah, lalu tubuhnya menjadi dingin. Kanu menangis dalam kesedihan yang mendalam.

Penduduk kampung mengadakan upacara pemakaman. Yawi dimakamkan di sisi hutan, tempat para leluhur beristirahat. Namun, Kanu tidak bisa melupakan janji sahabatnya. Setiap sore, ia datang ke pohon besar tempat mereka biasa duduk bersama, berharap keajaiban terjadi.

Beberapa minggu berlalu. Suatu malam, angin berhembus kencang di kampung Wawel. Suara dedaunan berdesir lebih nyaring dari biasanya, seakan ada sesuatu yang mendekat. Warga yang masih terjaga merasakan hawa dingin yang tidak biasa. Di bawah sinar rembulan yang pucat, Kanu duduk termenung di bawah pohon besar, mengingat sahabatnya.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki. Kanu mengangkat kepalanya, dan di hadapannya berdiri seorang pria dengan pakaian perang khas suku Marind, lengkap dengan tombak di tangannya.

"Kanu… ini saya," suara itu bergetar, seperti datang dari dunia lain.

Kanu terperanjat, dadanya berdegup kencang. Warga kampung yang melihat kejadian itu berhamburan keluar. Mata mereka membelalak ketakutan.

"Ini teman saya!" Kanu berteriak kepada warga yang mulai berbisik ketakutan. "Dia menepati janji!"

Yawi menatap Kanu dengan mata sayu, lalu berkata lirih, "Saya rasa saya harus pergi. Saya hanya ingin menepati janji kita."

Dengan langkah perlahan, Yawi berjalan menuju ladang. Ia mengambil sebatang kayu panjang yang biasa digunakan sebagai pembatas wilayah dan menancapkannya ke tanah. Dalam sekejap, tubuhnya mulai tenggelam ke dalam tanah bersama kayu tersebut. Warga hanya bisa menatap dengan ngeri dan kagum.

Tak lama kemudian, Yawi menghilang sepenuhnya, seakan ditelan oleh bumi. Hanya kayu yang tertancap itu yang menjadi saksi dari janji yang telah ditepati.

Sejak saat itu, tempat dimana tertancapnya kayu di tepi kampung Wawel menjadi tempat sakral bagi warga. Mereka percaya bahwa janji persahabatan sejati tidak akan terputus oleh kematian. Kanu hidup dengan membawa kenangan itu, dan ia selalu berkata kepada generasi berikutnya.