Di masa lalu, sebelum dunia berubah, sebelum tanah dan air kehilangan jejaknya, di sebuah tempat yang kini hanya tinggal kenangan, ada sebuah kisah cinta yang tak akan pernah terlupakan.
Di daratan Malind, hiduplah seorang pangeran gagah dan perkasa, seorang pemuda dengan hati yang membara dan keberanian yang tak tertandingi. Di kejauhan, di muara Sungai Mbian, berdiri Pulau Walinau, pulau legenda yang konon dihuni para bidadari.
Suatu hari, sang pangeran mendengar bisikan angin tentang kecantikan seorang bidadari dari pulau itu. Sejak saat itu, hatinya tak lagi tenang. Setiap malam, bayangan sang bidadari menari-nari dalam pikirannya.
"Aku harus menemuinya," bisik sang pangeran dalam hati.
Namun, Pulau Walinau bukan tempat yang bisa dijangkau dengan perahu biasa. Maka, ia memanggil Rajawali Raksasa, burung yang menjadi sahabatnya sejak kecil. Dengan kepakan sayap perkasa, Rajawali itu membawanya terbang menyeberangi laut menuju pulau bidadari.
Setiap kali ia datang, angin bertiup lebih lembut, bulan bersinar lebih terang. Dan di tepi pantai Walinau, ia bertemu sang bidadari.
"Kau datang lagi," kata bidadari itu tersenyum malu.
"Bagaimana aku bisa tidak datang? Hatiku tertinggal di sini," jawab pangeran dengan tatapan penuh cinta.
Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Cerita tentang pertemuan mereka akhirnya sampai ke telinga orang-orang di kampung. Mereka berbisik, bergunjing, hingga amarah mulai menyala.
"Siapa lelaki asing itu?" seru seorang tetua dengan wajah penuh kecurigaan.
"Dia dari tanah yang jauh! Kita tidak tahu siapa dia!" sahut yang lain.
Tak butuh waktu lama sebelum orang tua bidadari mengetahui semuanya. Mereka merasa dipermalukan, merasa telah membiarkan seorang asing mencuri hati putri mereka.
"Anak kita sudah jatuh dalam pesona orang luar!" kata sang ayah dengan suara bergetar. "Kita harus menghentikannya!"
Mereka pun sepakat. Jika pangeran datang lagi, ia tidak akan kembali dengan selamat. Sore itu, langit mulai memerah. Seluruh penduduk kampung bersembunyi di balik pepohonan, menanti dengan senjata di tangan. Mereka tahu, pangeran selalu datang menjelang malam.
Dan benar saja, beberapa jam kemudian, di kejauhan terdengar suara angin kencang. Sayap Rajawali Raksasa mengepak di angkasa, membawa pangeran menuju pulau yang ia cintai. Begitu kakinya menyentuh tanah, puluhan orang keluar dari persembunyian mereka. Mata mereka penuh amarah.
"Tangkap dia!" teriak seseorang.
Pangeran terkejut. Ia mencoba melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Tangan-tangan kasar mencengkeram tubuhnya, pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan tubuhnya. Darah mengalir dari hidungnya, jatuh ke tanah Pulau Walinau.
Dengan sisa tenaga, ia merangkak menuju Rajawali yang setia menunggunya. Burung itu menjerit, mengepakkan sayapnya, dan dalam sekejap membawa pangeran kembali ke tanah asalnya. Namun, luka di tubuhnya bukanlah yang paling menyakitkan. Luka di hatinya jauh lebih dalam.
"Cinta yang kupelihara, harapan yang kutanam... semuanya hancur."
Karena malu dan patah hati, pangeran memilih mengasingkan diri ke Do Adaka di Pulau Kimaam. Di sana, ia merawat luka-lukanya, menahan kepedihan yang tak bisa diobati oleh waktu. Tapi dendam tidak pernah tidur.
Setelah sembuh, ia kembali. Namun kali ini, bukan sebagai seorang pangeran yang mencari cinta. Ia kembali sebagai Dewa Badai, dengan kemarahan yang mengguncang langit dan bumi. Petir menggelegar. Halilintar menyambar. Angin taufan mengamuk.
Pulau Walinau, yang dahulu indah dan penuh kehidupan, kini dihantam badai dahsyat. Gelombang laut naik tinggi, menelan tanah, rumah, dan orang-orang yang pernah mengusirnya. Hewan-hewan mati, tanah tersapu bersih, dan hanya puing-puing yang tersisa.
Pulau Walinau telah hilang. Di tengah kehancuran itu, beberapa orang berusaha menyelamatkan diri.
Seekor biawak, satu-satunya makhluk yang bertahan di pulau itu, berenang melintasi lautan, berjuang mencari daratan. Ia tiba di Mawal di Muara Mbian, lalu melanjutkan perjalanan ke komunitas di Ndalim, yang kini dikenal sebagai Kampung Ndomande.
Sementara itu, seorang perempuan bertahan di tengah gelombang, berenang menuju daratan tepi barat Sungai Mbian, menetap di Kampung Wambi. Sebagian lainnya terombang-ambing hingga mencapai Kepala Kali Mbian di Kaniskobad, Ihleb, dan Ihalik.
Pulau yang dahulu penuh cinta kini hanya tinggal kenangan. Hanya desiran angin dan riak ombak yang terus berbisik, membawa kisah tentang pangeran yang kehilangan cintanya, tentang bidadari yang tak lagi bisa ditemui, dan tentang tanah yang hilang dalam murka badai. Dan hingga kini, laut yang menggantikan Pulau Walinau tetap bergelombang ganas, seolah masih menyimpan amarah dari cinta yang hilang.