Angin timur bertiup kencang, membawa aroma laut yang menyatu dengan perasaan pilu di dada Alamem. Dengan linangan air mata, ia terus melangkah menyusuri pesisir, meninggalkan luka yang belum sembuh.
Tiba di Sungai Mbian, Alamem menyeberang menggunakan ugaghr’, perahu yang dibuat dari pohon gabang. Sekitar tiga kilometer dari sungai, ia melihat seseorang di kejauhan. Sosok itu tampak familiar.
"Sigaule...?" gumam Alamem pelan.
Ketika jarak semakin dekat, sahabat lamanya itu menoleh dan terkejut melihat Alamem berdiri di sana.
Sigaule (terkejut, mendekat):
"Alamem ayi? Eh, kau kah ini?! Sudah lama kita tak bertemu! Dari mana kau?"
Alamem (suara berat, lirih):
"Aku hanya berjalan, Sigaule... angin timur membawaku ke sini."
Mereka duduk di atas pasir pantai, berbincang sejenak. Tak lama kemudian, mata Sigaule menangkap sesuatu yang bergerak di kejauhan. Seekor saham—kanguru—meloncat-loncat di pinggiran meti.
Sigaule (menunjuk, terkejut):
"Eh, Alamem ayi namakud ahiyap edeh upe! Saham enuh ge!"
(Hei, Alamem! Coba kau lihat itu! Binatang itu seperti saham!)
Alamem (mengangguk pelan, dialek Wanggali):
"Ahak mayan haiyanka saghr’am kap kaghrosehe."
(Iya, benar. Itu memang saham yang melompat-lompat.)
Sigaule bangkit berdiri, matanya berbinar penuh semangat.
Sigaule:
"Bunuhlah, Alamem! Kita makan dagingnya malam ini!"
Alamem menatap saham itu, lalu menarik napas dalam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang ragu, tetapi akhirnya ia menurut. Dengan satu gerakan cepat, tombaknya meluncur dan menembus tubuh saham. Setelah tubuh saham tak lagi bergerak, Alamem berlutut di sampingnya. Ia menyentuh bulunya dengan lembut, seolah menyampaikan permintaan maaf. Lalu, ia menoleh ke arah Sigaule.
Alamem (suara dalam, serius):
"Daging boleh kau makan, tapi bulunya... bulunya harus kau isi di dalam bokong kelapa."
Sigaule mengangkat bahu, tak paham maksud Alamem, tapi tetap menurut. Ia mulai memanggang daging di atas bara api, sementara Alamem berjalan menjauh, bersembunyi di antara semak-semak. Di sana, Alamem menggenggam sepotong kayu keras dan mulai mengukir sesuatu dengan tangannya yang kuat. Sedikit demi sedikit, terbentuklah burung Nuri—ia akan menjadi mata-mata Alamem. Alamem menaruh burung itu di telapak tangannya dan berbisik.
Alamem:
"Terbanglah... periksa Sigaule. Katakan padaku jika ia sudah tertidur."
Burung kayu itu mengepakkan sayapnya dan terbang menuju Sigaule. Ia berputar-putar di atas kepala lelaki itu, mengawasi setiap gerak-geriknya. Sigaule mengangkat kepalanya dan menyeringai.
Sigaule (tertawa kecil, mendongak):
"Aha! Alamem ayi, saya sudah tahu kau suruh burung ini untuk melihat saya! Pulanglah, katakan padanya, saya masih bangun!"
Burung itu kembali ke Alamem dan melaporkan bahwa Sigaule masih terjaga. Alamem menghela napas. Ia harus menunggu. Beberapa saat kemudian, burung itu kembali terbang untuk pengintaian kedua. Kali ini, Sigaule sudah diam tak bergerak. Burung Nuri (melapor, suara lirih):
"Ia sudah sono mati..." (sudah tidur.)
Alamem tersenyum tipis. Inilah saatnya.
Ia mendekati Sigaule yang tertidur di dekat api unggun. Di tangannya, ia menggenggam dua bokong kelapa berisi bulu saham. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan bokong kelapa pertama ke telinga kanan Sigaule.
BRAKKK!
Bokong kelapa pecah. Seketika, nyamuk hitam berhamburan keluar dan menyerang wajah serta tubuh Sigaule.
Sigaule (terbangun, panik):
"Ayi! Ayi! Apa ini?! Nyamuk dari mana?!"
Ia mengibas-ngibaskan tangan, berusaha mengusir nyamuk yang semakin banyak. Ia mencoba berdiri, tetapi Alamem lebih cepat. Alamem melemparkan bokong kelapa kedua ke telinga kiri Sigaule.
BRAKKK!
Kini, nyamuk putih berbulu keluar dalam jumlah yang lebih besar. Sigaule berteriak, tubuhnya gemetar hebat.
Sigaule (meronta, napas terengah-engah):
"Alamem ayi! Kenapa kau melakukan ini?! Kita... kita teman..."
Namun, Alamem tetap diam. Ia hanya menatap Sigaule dengan tatapan yang tak terbaca. Sigaule terhuyung, tubuhnya lemas akibat sengatan ribuan nyamuk yang terus menghisap darahnya. Dengan langkah gontai, ia berusaha mencari tempat berlindung, namun kakinya tak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri. Ia jatuh bersandar di batang pohon kelapa. Di sanalah, Sigaule menghembuskan napas terakhirnya.
Sejak saat itu, tempat itu disebut Meb dalam bahasa Malind, yang berarti bersandar di pohon. Nama itu tetap ada hingga kini, menjadi jejak dari kisah Alamem dan Sigaule. Alamem menatap tubuh sahabatnya yang tak lagi bergerak. Ia tak menangis, tak pula tersenyum. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik, meninggalkan tempat itu. Dengan langkah berat, ia melanjutkan perjalanannya ke Wanggali, membawa serta kisah yang hanya ia sendiri yang mengerti.