Di sebuah kampung yang jauh di pedalaman, hiduplah dua saudara kembar yang unik dan luar biasa. Mbaliu dan Nggalenggle—itulah nama mereka. Tidak seperti kembar lainnya, mereka lahir dengan kondisi yang aneh: tulang belakang mereka menyatu, dan mereka saling membelakangi satu sama lain.
Meski terikat satu sama lain, mereka tak pernah mengeluh. Mereka telah menemukan cara untuk bergerak dan bekerja sama. Jika salah satu berjalan, yang lain akan melipat kakinya ke atas bahu saudaranya. Ketika giliran yang lain berjalan, mereka bertukar posisi. Begitulah cara mereka bertahan hidup.
Setiap hari, mereka pergi ke hutan dan rawa-rawa, mencari capung, ikan, dan hewan kecil lainnya untuk dimakan.
"Mbaliu, aku melihat banyak ikan di sungai itu!" seru Nggalenggle.
"Baiklah, kita harus bekerja sama. Kau yang menangkap, aku yang menjaga keseimbangan," jawab Mbaliu.
Mereka selalu berbagi tugas. Jika satu menangkap ikan, yang lain akan menjaga keseimbangan tubuh mereka agar tidak jatuh. Meskipun hidup mereka penuh tantangan, mereka bahagia. Mereka saling melengkapi, dan tak pernah merasa sendiri. Namun, kehidupan mereka yang damai berubah ketika Alamem, seorang pria licik yang dikenal sebagai Abunawas Papua, datang ke kampung mereka. Malam itu, setelah seharian mencari makan, Mbaliu dan Nggalenggle tertidur lelap di bawah pohon besar.
Tanpa suara, Alamem mendekat. Senyum licik terukir di wajahnya. Ia tahu betul bahwa kembar ini memiliki alat berburu yang sangat berharga.
"Inilah saatnya," gumamnya sambil mengendap-endap mendekati mereka.
Dengan tiba-tiba, Alamem menghentakkan kaki ke tanah, membuat suara keras yang menggema di udara.
"BRAAAK!"
Mbaliu dan Nggalenggle terbangun dengan kaget.
"Siapa itu?!" seru Mbaliu.
Mata mereka menyipit, mencoba melihat dalam kegelapan. Alamem berdiri di hadapan mereka, tertawa sinis.
"Kalian ini kembar aneh, tapi aku yakin kalian punya sesuatu yang berharga," katanya sambil menatap tajam ke arah mereka.
Nggalenggle segera berbisik, "Kita harus melawan, Mbaliu!"
"Benar! Kita tidak bisa membiarkan dia mengambil alat berburu kita!" jawab Mbaliu dengan penuh tekad.
Mereka pun bersiap. Meskipun tubuh mereka terikat satu sama lain, mereka tahu cara bertarung bersama. Namun, Alamem lebih licik. Ia berputar cepat, membuat Mbaliu dan Nggalenggle kesulitan menentukan arah serangan.
"Ayo, coba tangkap aku!" ejek Alamem.
Dengan gesit, ia melemparkan pasir ke mata Mbaliu, membuatnya kesakitan.
"Aaaah!" Mbaliu berteriak.
Nggalenggle berusaha menyeimbangkan tubuh mereka, tetapi Alamem memanfaatkan kesempatan itu. Dalam satu gerakan cepat, ia menghunuskan belatinya.
"Cukup permainan ini," katanya dingin.
Dalam hitungan detik, dua saudara kembar itu tumbang.
Mereka tidak bergerak lagi. Hening. Alamem mendekati mereka dan merampas semua alat berburu mereka.
"Mudah sekali," katanya sambil tersenyum puas.
Setelah memastikan tidak ada yang melihatnya, ia pun pergi, meninggalkan tubuh dua saudara kembar itu di bawah langit malam. Hari berikutnya, orang-orang kampung menemukan mereka. Tangisan pecah di antara penduduk.
"Mereka hanya ingin hidup damai… tapi lihat apa yang terjadi pada mereka," ujar seorang tua dengan suara bergetar.
Sejak hari itu, nama Mbaliu dan Nggalenggle dikenang sebagai kembar yang malang, yang hidup penuh perjuangan namun berakhir tragis di tangan seorang penipu ulung.