Suara Marind

Penjarahan oleh Seorang Pemuda
Home » Cerita Rakyat  » Penjarahan oleh Seorang Pemuda

Pada zaman dahulu, di sebuah dusun kecil bernama Alaku, terhampar perbukitan hijau yang mengelilingi hutan lebat dan rawa-rawa yang kaya akan sumber makanan. Dusun itu dihuni oleh sekelompok anak laki-laki pemberani yang dikenal sebagai Nggais Wanangga. Mereka tumbuh di tengah alam liar, hidup dengan berburu di hutan dan menangkap ikan di rawa.

Dengan kipa dan busur panah di tangan, mereka menghabiskan hari-hari mereka mengejar babi hutan, saham (kanguru), dan tikus tanah. Persaudaraan mereka erat, saling berbagi hasil buruan dan melindungi satu sama lain dari bahaya yang mengintai di hutan.

Namun, pada suatu hari, datanglah seorang pemuda asing yang tidak mereka kenal. Wajahnya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak—senyum yang terlalu lebar, mata yang selalu bergerak gelisah, dan sikap yang membuat mereka merasa tidak nyaman.

Pemuda itu memiliki nama yang terkenal, sebuah nama yang dibisikkan oleh banyak orang dengan rasa takut dan kekhawatiran: Nggais Wananggib Alamem, atau yang lebih dikenal sebagai Abunawas Papua—seorang penipu ulung yang licik, cerdik, dan tak pernah kehabisan akal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Anak-anak Nggais Wanangga tidak menolak kehadirannya, tapi mereka juga tidak benar-benar menerimanya. Ada kecurigaan di dalam hati mereka.

"Siapa dia?" bisik salah satu anak.
"Kenapa dia datang ke sini?" tanya yang lain dengan nada khawatir.

Namun, Alamem berbicara dengan manis. Ia tertawa, bercanda, dan mengaku ingin menjadi bagian dari mereka. Meski ada rasa takut, mereka tetap membiarkannya tinggal—dengan pengawasan ketat.

Tetapi mereka tidak tahu, di balik senyuman itu, Alamem menyimpan rencana besar. Ia telah mengamati situasi, mencari celah di mana ia bisa mencuri makanan, alat berburu, dan alat penangkap ikan mereka tanpa dicurigai. Hari demi hari ia memikirkan cara terbaik untuk menipu mereka. Hingga akhirnya, sebuah ide licik muncul di kepalanya.

"Aku akan membuat mereka lengah," pikirnya sambil menyeringai.

Pada suatu sore yang terik, saat matahari mulai meredup di balik bukit, Alamem mengajak anak-anak itu mandi di sebuah sumur alami di dekat dusun.

"Kalian tahu tidak?" katanya dengan nada bersemangat. "Ada cara menangkap ikan dengan menyelam lama di air. Aku bisa mengajarkan kalian!"

Anak-anak Nggais Wanangga saling berpandangan. Mereka ragu, tapi rasa ingin tahu mengalahkan kecemasan mereka.

Alamem tersenyum. "Ayo kita coba! Aku akan menghitung waktu seberapa lama kalian bisa menyelam!"

Satu per satu, anak-anak itu melompat ke dalam sumur, menyelam sedalam mungkin sesuai arahan Alamem. Setiap kali mereka muncul ke permukaan, ia meminta mereka menyelam lebih lama lagi.

"Lagi! Kali ini lebih dalam!" serunya. "Siapa yang paling lama di dalam air, dia yang paling hebat!"

Mereka mulai kelelahan, tapi tidak mau kalah. Mereka menyelam berulang kali hingga dada mereka terasa berat dan napas semakin pendek.

Lalu, saat terakhir mereka menyelam, Alamem melihat kesempatan emasnya. Dengan cekatan, ia melompat ke darat, mengambil alat penangkap ikan, makanan, dan peralatan berburu, lalu berlari secepat kilat meninggalkan sumur itu.

Ketika anak-anak muncul ke permukaan, mereka melihat Alamem sudah tidak ada.

Mereka menoleh ke tempat penyimpanan mereka—kosong!

"Kita ditipu!" salah satu dari mereka berteriak dengan panik.

"Alat-alat kita hilang!" seru yang lain dengan suara gemetar.

Mereka berlari keluar dari sumur, mengejar Alamem yang sudah berlari jauh. Jejak kakinya terlihat jelas di tanah lembab. Anak-anak berteriak, menangis marah, tapi Alamem terlalu cepat. Ia berlari keluar-masuk tanah lapang, menghilang di antara pepohonan lebat. Tak ada yang bisa mengejarnya lagi. Namun, jejak kakinya tetap tertinggal di sana, menjadi saksi dari penipuannya yang licik.

Sejak hari itu, di kampung Alaku, Distrik Okaba, jejak itu tetap ada—menjadi cerita turun-temurun tentang seorang Abunawas Papua, si Nggais Wananggib Alamem, yang datang sebagai sahabat tapi pergi sebagai pencuri.