Suara Marind

Anjing dan Kuskus
Home » Cerita Rakyat  » Anjing dan Kuskus

Di sebuah hutan rimbun yang luas, di mana pepohonan menjulang tinggi dan sinar matahari hanya bisa menerobos tipis di antara dedaunan, hiduplah dua sahabat yang tak terpisahkan: Anjing dan Kuskus.

Anjing adalah makhluk yang lincah dan cerdik. Ia suka bermain-main di hutan, menggonggong riang sambil berlari-lari di antara semak-semak. Ia dikenal sebagai hewan yang periang, tetapi sering kali sifat jahilnya membuat hewan lain kesal. Sebaliknya, Kuskus adalah sosok yang tenang dan penyabar. Ia tidak seaktif Anjing, tetapi ia selalu bisa menyeimbangkan energi sahabatnya dengan kebijaksanaan dan kebaikan hatinya. Ia sering duduk di atas cabang pohon, mengamati sekeliling dengan mata besarnya yang penuh rasa ingin tahu.

Setiap hari, mereka berdua menjelajah hutan bersama, berbagi makanan, bermain di pinggir sungai, dan terkadang tidur di bawah satu pohon yang sama. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan berjanji untuk selalu menjadi sahabat seumur hidup. Namun, persahabatan itu tak bertahan selamanya. Suatu hari, sebuah peristiwa terjadi—sebuah kebohongan kecil yang akhirnya mengubah segalanya.

Suatu sore, saat hutan mulai diselimuti cahaya keemasan matahari yang akan terbenam, Anjing datang dengan wajah muram. Langkahnya lambat, ekornya terkulai, dan wajahnya tampak penuh kesedihan. Kuskus, yang saat itu tengah bergelantungan di sebuah dahan rendah, segera turun dengan penuh kekhawatiran.

Kuskus: (dengan suara lembut) "Sahabatku, ada apa? Mengapa kau terlihat begitu sedih?"

Anjing menundukkan kepala, matanya tampak berkaca-kaca. Ia kemudian menggeleng lemah sebelum akhirnya berbicara dengan suara serak, penuh kepiluan.

Anjing: (menghela napas panjang) "Aku mengalami kejadian mengerikan, Kuskus. Tadi siang, aku bertemu seekor harimau besar di tengah hutan. Ia menerkamku… dan aku nyaris tidak bisa melarikan diri. Aku hanya bisa bertahan dengan satu syarat…"

Kuskus menelan ludah, hatinya mencelos.

Kuskus: (cemas) "Apa syaratnya, Anjing?"

Anjing menatapnya dengan penuh kesedihan sebelum akhirnya menunduk, memperlihatkan kepalanya.

Anjing: (menghela napas panjang) "Aku harus menyerahkan telingaku padanya. Aku kehilangan telingaku, Kuskus. Kini aku cacat."

Kuskus terkejut. Matanya melebar saat melihat kepala Anjing yang tampak tanpa telinga. Ia tak tahu bahwa Anjing hanya melipat telinganya ke belakang, membuatnya tampak seolah-olah benar-benar telah hilang.

Kuskus: (dengan suara gemetar) "Oh, sahabatku… Aku turut berduka. Aku tak bisa membayangkan betapa sakitnya kau kehilangan telingamu."

Anjing menghela napas lagi, lalu menatap Kuskus dengan penuh harap.

Anjing: (dengan suara lirih) "Tapi, Kuskus… Aku merasa sangat kesepian. Aku tak ingin menjadi satu-satunya yang cacat. Jika kau benar-benar sahabatku… maukah kau melakukan hal yang sama untukku? Potonglah telingamu juga, agar kita tetap sama."

Kuskus menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.

Ia ingin menjadi sahabat yang setia. Ia ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli pada perasaan Anjing. Tanpa berpikir panjang, dengan penuh tekad, ia mengambil sebilah batu tajam—dan dengan satu tarikan nafas, ia memotong kedua telinganya sendiri. Darah mengalir di sisi kepalanya, namun ia tetap tersenyum.

Kuskus: (tersenyum lemah) "Lihat, Anjing… Sekarang kita sama."

Anjing terdiam sejenak, menatap Kuskus yang kini benar-benar kehilangan telinganya. Namun, dalam hatinya, ia menahan tawa. Keesokan harinya, saat matahari terbit, Kuskus pergi menemui Anjing. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat Anjing tertawa terbahak-bahak.

Anjing: (mengejek, sambil menggoyangkan kepalanya) "Hahaha! Lihat dirimu, Kuskus! Kau benar-benar memotong telingamu! Padahal aku hanya melipatnya ke belakang! Aku menipumu!"

Kuskus terperangah. Ia meraba kepalanya, menyadari bahwa telinganya telah hilang selamanya. Matanya mulai memanas. Ia tidak percaya bahwa sahabatnya tega mengkhianatinya seperti ini.

Kuskus: (suara bergetar) "Anjing… Kau menipuku?"

Anjing: (masih tertawa) "Tentu saja! Dan sekarang lihat betapa lucunya kau tanpa telinga! Hahaha!"

Kuskus menahan amarahnya. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tetapi ia memilih menyusun rencana balas dendam. Beberapa hari kemudian, saat matahari hampir tenggelam, Kuskus datang menemui Anjing dengan wajah muram. Namun kali ini, giliran ia yang berbohong.

Kuskus: (dengan suara lirih, menunjukkan ekornya yang tampak hilang) "Sahabatku… Aku mengalami nasib buruk. Seekor elang raksasa menyambar ekorku, dan aku tak bisa menyelamatkannya. Aku kini hidup tanpa ekor."

Anjing menatap Kuskus dengan rasa kasihan.

Kuskus: (menghela napas panjang) "Aku tahu kau adalah sahabat yang setia… Jika kau benar-benar peduli padaku, maukah kau menunjukkan solidaritas? Potonglah ekormu juga, agar kita tetap sama."

Anjing menatapnya ragu. Namun, karena merasa bersalah atas kebohongan sebelumnya, ia pun mengangguk. Dengan sebilah batu tajam, Anjing memotong ekornya sendiri. Saat rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, ia mendengar suara tawa keras.

Kuskus: (tertawa puas, menunjukkan ekornya yang ternyata masih utuh, hanya dilipat ke dalam bulunya) "Hahaha! Lihatlah dirimu, Anjing! Aku hanya melipat ekorku ke dalam! Sekarang kau benar-benar kehilangan ekormu!"

Anjing terperangah.

Anjing: (menggeram marah) "Kuskus! Kau menipuku!"

Kuskus: (tersenyum puas) "Sekarang kita impas."

Sejak saat itu, Anjing dan Kuskus tidak pernah berteman lagi. Mereka yang dulunya sahabat, kini menjadi musuh bebuyutan. Itulah sebabnya, hingga sekarang, anjing selalu menggonggong dan mengejar kuskus, sementara kuskus selalu bersembunyi di atas pohon, menghindari anjing.