Jauh di pelosok negeri, di tempat yang jarang diinjak manusia, terbentang sebuah hutan adat yang begitu lebat dan tua. Pepohonan menjulang tinggi hingga daunnya hampir menyentuh langit. Di dalamnya, berbagai makhluk hidup tinggal dengan damai: burung-burung berkicau merdu, harimau bersembunyi di balik semak, dan sungai kecil mengalir jernih seperti kristal.
Namun, hutan itu bukan sekadar kumpulan pohon dan hewan. Ada sesuatu yang menjaganya. Sebuah kekuatan tak terlihat, yang membuat hutan ini tetap utuh sejak zaman nenek moyang. Orang-orang desa menyebutnya Njul-Njul.
Dahulu, Njul-Njul bukanlah penjaga hutan. Ia adalah seorang peri dari khayangan, yang turun ke bumi untuk mencari ketenangan. Ia memilih hutan itu sebagai tempat pertapaannya. Tahun demi tahun berlalu, tubuhnya menyatu dengan alam. Ia mulai merasakan denyut nadi hutan, memahami bisikan pepohonan, dan mendengar suara air yang berbisik dalam arusnya.
Hingga akhirnya, ia menjadi bagian dari hutan. Ia bukan sekadar peri lagi. Ia penjaga.
Orang-orang desa yang tinggal di sekitar hutan itu menghormatinya. Mereka tahu, jika mereka menjaga hutan, maka hutan akan menjaga mereka. Namun, jika seseorang berniat merusaknya, maka hutan akan memberikan peringatan yang tak terlupakan.
Pada suatu hari, seorang saudagar dari negeri jauh, bernama Gantara, tiba di desa dekat hutan itu.
Gantara adalah seorang pedagang kaya, yang sudah banyak menjual hasil hutan dari berbagai negeri. Namun, ia selalu lapar akan lebih banyak keuntungan. Ketika ia mendengar tentang hutan adat ini, yang katanya memiliki kayu berusia ratusan tahun dengan kualitas terbaik, ia langsung tergoda.
Dengan membawa kapak besar dan beberapa pekerja, ia memasuki hutan. Udara di dalamnya terasa berbeda—lebih lembap, lebih sunyi, lebih berat. Pepohonan berdiri seperti raksasa yang diam, dan hewan-hewan tampaknya mengawasi mereka dari kejauhan.
Namun, Gantara tidak peduli. Ia hanya melihat emas dalam bentuk batang-batang kayu raksasa.
Gantara: (menatap pohon besar dengan rakus) "Dengan pohon sebesar ini, aku bisa membangun istana!"
Ia mengayunkan kapaknya, siap menebang pohon pertama. Namun, begitu kapaknya menyentuh batang pohon, angin kencang bertiup. Daun-daun berguguran dari atas, melayang seperti ribuan mata yang memperhatikan mereka. Pepohonan di sekitar bergoyang, meskipun tidak ada badai. Para pekerja mulai merasa tidak nyaman.
Pekerja 1: (berbisik pada rekannya) "Aku merasa diawasi… Seperti ada yang mengintai dari dalam hutan."
Pekerja 2: (mengusap tengkuknya, bulu kuduknya meremang) "Aku juga… Udara di sini terasa aneh."
Namun, Gantara hanya tertawa.
Gantara: (mengejek) "Dasar penakut! Ini hanya angin! Kita tetap menebang!"
Ia mengayunkan kapaknya sekali lagi. Saat itu juga, sesuatu terjadi. Kabut tebal tiba-tiba turun dari langit, menyelimuti seluruh hutan. Matahari yang tadi bersinar terang kini redup, seakan terselubung bayangan. Gantara menghentikan kapaknya. Jalan yang tadi jelas kini menghilang. Pohon-pohon berdiri seperti tembok tanpa celah. Setiap arah terlihat sama.
Pekerja 1: (ketakutan) "Pak… kita harus pergi! Kita tersesat!"
Pekerja 2: (gemetar) "Aku merasa hutan ini berubah… Seolah-olah… hidup."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, terdengar suara bisikan halus.
"Pergilah... tinggalkan hutan ini..."
Suara itu datang dari segala arah. Bukan suara manusia. Bukan suara angin. Itu suara hutan. Kemudian, dari dalam kabut, muncul sesosok makhluk misterius. Njul-Njul. Tubuhnya tinggi, berjubah hijau yang menyatu dengan dedaunan. Rambutnya panjang seperti akar, dan matanya bersinar seperti bintang di malam kelam.
Njul-Njul: (dengan suara menggema) "Kalian telah mengusik kedamaian hutan ini..."
Gantara mencoba berbicara, tetapi tenggorokannya tercekat. Suara Njul-Njul bukan suara biasa. Itu suara yang berbicara langsung ke dalam jiwanya.
Njul-Njul: (tenang tapi penuh wibawa) "Siapapun yang serakah, akan mendapat ganjarannya."
Seketika, hutan bergerak. Pohon-pohon yang tadi diam mengubah posisinya. Tanah bergetar, akar-akar mencuat dari tanah, dan suara gemuruh terdengar dari dalam bumi. Gantara dan pekerjanya berlari. Namun, kemanapun mereka pergi, mereka selalu kembali ke tempat yang sama—di bawah pohon raksasa tempat mereka mulai menebang.
Gantara: (putus asa, berteriak) "Lepaskan aku! Aku tidak akan menebang pohon ini lagi!"
Namun, Njul-Njul hanya menatapnya.
Njul-Njul: (suara berbisik, dingin seperti angin malam) "Alam tidak mudah memaafkan…"
Akar-akar semakin erat melilit kaki mereka. Pepohonan menutup celah terakhir dari langit. Dan dalam hitungan detik, mereka menghilang ke dalam kabut. Sejak saat itu, tidak ada yang pernah melihat Gantara dan para pekerjanya lagi. Desa yang berada di dekat hutan itu tidak pernah berani merusak hutan lagi.
Jika ada seseorang yang mencoba mengambil sesuatu dari hutan secara berlebihan, akan selalu ada tanda-tanda alam yang muncul—angin kencang, petir yang menyambar tiba-tiba, atau suara-suara bisikan di tengah malam. Mereka percaya bahwa Njul-Njul masih di sana. Menjaga. Mengawasi. Dan siap memberikan hukuman bagi siapa pun yang berniat jahat. Orang-orang desa pun berkata,
"Hutan ini bukan sekadar pohon. Ia memiliki nyawa. Dan Njul-Njul, sang penjaga, akan selalu ada di dalamnya."