Suara Marind

Asal Usul Ikan Bulanak
Home » Cerita Rakyat  » Asal Usul Ikan Bulanak

Pada zaman dahulu, di sebuah hutan lebat yang teduh, hiduplah dua wanita kakak beradik yang bersuamikan anjing. Mereka tinggal di dekat sebuah kolam jernih yang airnya tenang, dikelilingi pepohonan rindang yang rimbun. Setiap hari, kedua anjing suami mereka mandi di kolam tersebut, sementara mereka menunggu di atas pohon besar yang tumbuh di tepi air.

Pada suatu hari yang cerah, datanglah seorang pria bernama Alamem, moyang dari suku Malind yang berasal dari daerah pantai. Ia adalah seorang pria gagah dengan kulit cokelat keemasan yang berkilau di bawah matahari. Di kepalanya, ia mengenakan ikat kepala dari bulu bangau putih yang indah dan melambangkan kebangsawanan. Saat ia perlahan memasuki kolam, air yang bening memantulkan sosoknya yang kokoh.

Dari atas pohon, dua wanita itu memperhatikan Alamem dengan rasa ingin tahu dan kagum. Pandangan mereka tertuju pada hiasan kepala yang dikenakannya.

"Lihat itu! Indah sekali hiasan kepala pria itu!" bisik sang adik.

"Benar! Jika kita memilikinya, pasti kita akan terlihat anggun seperti dia!" sahut sang kakak.

Dengan cekatan dan licik, mereka meraih ranting panjang dan dengan hati-hati mengambil hiasan kepala Alamem tanpa ia sadari. Setelah selesai mandi, Alamem berjalan meninggalkan kolam, namun tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang hilang. Tak ada suara desir dari bulu bangau putih yang biasa ia dengar saat berjalan.

Ia berhenti, mengernyitkan dahi, lalu menoleh ke belakang. Tatapannya menyapu sekitar, dan akhirnya ia sadar bahwa hiasan kepalanya telah raib. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera kembali ke kolam dengan wajah yang mulai memerah karena marah.

Saat matanya mengarah ke atas pohon, ia melihat dua wanita itu menahan tawa, berusaha menyembunyikan sesuatu di balik punggung mereka.

"Dimana hiasan kepala saya?" suara Alamem menggelegar, memenuhi hutan. "Pasti kalian yang mencurinya!"

Kedua wanita itu saling berpandangan dan tertawa kecil.

"Hiasan kepala? Kami tidak tahu apa yang kau bicarakan, pria pantai!" ujar sang kakak dengan nada mengejek.

Alamem mengepalkan tangan. "Jangan bermain-main denganku. Turunlah sekarang juga!"

Menyadari kemarahan Alamem yang kian memuncak, mereka pun turun dari pohon dengan enggan. Alamem mendekati mereka dengan sorot mata tajam.

"Sebagai hukuman atas perbuatan kalian, kalian harus menjadi istriku," ujarnya tegas.

Sang adik menelan ludah. "Kami sudah memiliki suami," katanya lirih. "Suami kami adalah anjing."

Alamem tersenyum sinis. "Anjing bukanlah suami yang pantas bagi manusia. Sekarang kalian milikku."

Tanpa menunggu jawaban mereka, ia mengangkat tangannya ke udara. Tiba-tiba, sebuah perahu muncul dari udara kosong, mengapung di permukaan air. Alamem membawa kedua wanita itu menaiki perahu, meninggalkan kolam menuju seberang.

Namun, kedua anjing suami mereka yang sedang mandi mendengar suara istri mereka pergi. Mereka keluar dari air dan melihat istri mereka bersama Alamem. Dengan gonggongan marah, mereka berlari mengejar. Alamem menoleh, melihat dua anjing itu mendekat dengan cepat.

"Jangan mendekat!" teriaknya.

Tapi anjing-anjing itu tidak peduli. Dengan gerakan cepat, Alamem mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, sebuah busur muncul di genggamannya. Ia menarik tali busur dan melepaskan anak panah yang melesat cepat, menembus tubuh kedua anjing itu. Dengan erangan menyedihkan, mereka terjatuh ke tanah, mati di tempat. Kedua wanita tersebut sangat bersedih hati mengingat mereka sangat mengasihi suaminya. Namun mereka tidak berdaya.

Setelah tiba di Anasai, Alamem menghentikan perahu dan menoleh ke kedua istrinya yang baru.

"Buatkan aku sagu sep. Kita perlu makan sebelum melanjutkan perjalanan."

Ia lalu menambatkan tali perahunya ke sebuah ranting, lalu duduk bersandar di bawah pohon besar. Sementara itu, beberapa anak kecil yang sedang bermain di sekitar situ memperhatikan Alamem. Mata mereka penuh rasa ingin tahu. Mereka pun saling berbisik, lalu dengan hati-hati mendekati perahu Alamem.

"Ayo kita sembunyikan perahunya!" bisik seorang anak laki-laki.

Tanpa pikir panjang, mereka menarik perahu itu ke balik semak-semak. Mereka tertawa kecil, merasa puas telah menjahili pria asing itu.

Ketika Alamem hendak berangkat, ia terkejut mendapati perahunya hilang. Ia menoleh ke sekitar, lalu melihat anak-anak yang sedang tertawa di kejauhan. Ia menghela napas dalam, lalu berdiri dengan gagah. Suaranya bergema di udara.

"Hai kalian, anak-anak jahil! Karena kalian telah mencuri dan mempermainkan perahu saya, maka mulai hari ini kalian akan berubah menjadi ikan. Yang laki-laki akan menjadi ikan bulanak terbang, sedangkan yang perempuan akan menjadi ikan bulanak yang hidup di dasar air!"

Seketika, tubuh anak-anak itu bergetar. Mereka mencoba berlari, tetapi dalam sekejap, tubuh mereka berubah menjadi ikan dan melompat ke air. Sejak saat itu, ikan bulanak selalu berlimpah di daerah Anasai sepanjang tahun. Tidak seperti di tempat lain yang hanya memiliki ikan ini pada musim tertentu, di Anasai ikan bulanak tidak pernah habis.

Demikianlah kisah Alamem, moyang suku Malind, yang dengan kebijaksanaannya menegakkan keadilan dan menciptakan keseimbangan di dunia.