Di zaman dahulu, di tanah yang masih lebat dengan hutan dan berkilau dengan sungai-sungai jernih, hiduplah seorang pemuda bernama Alamem. Ia adalah sosok yang dikenal bijaksana, namun juga mudah tersinggung apabila merasa diperlakukan tidak adil.
Suatu hari, Alamem memutuskan untuk berjalan jauh dari kampung halamannya, menyusuri tepian sungai, melewati rawa-rawa, dan menembus hutan-hutan yang rimbun hingga akhirnya tiba di daerah Domande dan Kalibian. Kedua daerah itu saat itu sedang dalam suasana meriah—pesta besar tengah berlangsung. Dari kejauhan, terdengar bunyi tifa bertalu-talu, diiringi nyanyian dan tawa riang penduduk yang berpesta.
Alamem, yang sudah lama menempuh perjalanan, merasa sangat lapar. Aroma sagu sep yang dipanggang dengan daging rusa, ikan bakar yang gurih, dan uap harum dari sayuran hutan membuat perutnya berbunyi keras. Hatinya pun dipenuhi harapan bahwa ia akan diterima dengan hangat dalam pesta itu.
Dengan langkah percaya diri, ia mendekati kerumunan dan mencoba bergabung. Namun, sesuatu yang tak ia duga terjadi.
Penduduk Domande dan Kalibian tidak menyambutnya dengan keramahan. Alih-alih mengundangnya untuk menikmati hidangan lezat yang terhidang, mereka hanya memberinya sekerat kulit saham—kulit kanguru yang keras dan hampir tak bisa dimakan—serta beberapa potong pisang yang sudah terlalu matang.
Alamem merasa dipermalukan.
Ia menatap orang-orang di sekelilingnya yang masih tertawa dan menikmati makanan mewah mereka. Dadanya sesak oleh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka memperlakukan tamu dengan cara seperti ini? Ia bukanlah orang asing, ia adalah bagian dari mereka, bagian dari tanah ini!
Dengan wajah merah padam, ia bangkit berdiri. Suaranya menggelegar saat ia berbicara, seakan-akan alam pun ikut mendengarnya.
"Kalian telah merendahkan aku! Kalian menolak berbagi makanan dengan adil! Jika begitu, dengarkan kata-kataku ini—mulai hari ini, daerah kalian akan dihantui oleh nyamuk! Tidak peduli siang atau malam, nyamuk akan datang menggigit, membuat kalian tak bisa tidur, tak bisa bekerja dengan tenang. Aku bersumpah, Domande dan Kalibian tak akan pernah terbebas dari serangan nyamuk!"
Begitu kata-kata itu terucap, angin kencang bertiup menerpa pepohonan, mengguncang dedaunan seakan alam sendiri sedang menyaksikan sumpahnya. Langit yang tadinya cerah tiba-tiba menjadi kelabu.
Penduduk yang mendengar sumpah itu mulai gelisah. Beberapa dari mereka mencoba menenangkan Alamem, namun semuanya sudah terlambat. Alamem sudah beranjak pergi, meninggalkan tempat itu dengan langkah mantap dan hati yang masih terbakar amarah.
Tak butuh waktu lama, kutukan Alamem mulai menjadi kenyataan.
Keesokan harinya, penduduk Domande dan Kalibian mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Nyamuk-nyamuk yang biasanya hanya muncul saat senja, kini berkerumun sejak pagi. Mereka menggigit tanpa ampun, meninggalkan bentol-bentol merah di kulit setiap orang yang mereka hinggapi.
Hari demi hari berlalu, dan nyamuk-nyamuk itu semakin banyak. Mereka berkembang biak di rawa, di genangan air, di balik pepohonan. Penduduk mencoba segala cara untuk mengusir mereka—membakar daun wati, membuat api unggun besar, bahkan melumuri tubuh mereka dengan ramuan tradisional. Namun, tak ada yang berhasil.
Nyamuk tetap ada. Tak peduli siang ataupun malam. Sejak saat itu, Domande dan Kalibian dikenal sebagai tempat yang dihuni oleh gerombolan nyamuk tak terhitung jumlahnya. Orang-orang yang datang ke daerah itu selalu diperingatkan, "Bersiaplah, di sini nyamuk tidak pernah tidur."