Pada zaman dahulu, di sebuah kampung yang dikelilingi oleh hutan lebat dan sungai yang jernih, hiduplah dua bersaudara dengan sifat yang bertolak belakang.
Si kakak, bernama Mando, adalah seorang pemuda pemalas. Ia lebih suka tidur-tiduran di dalam rumah, membiarkan hari berlalu begitu saja tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Sementara itu, si adik, bernama Kareb, adalah seorang yang rajin dan pekerja keras. Setiap hari, ia pergi ke ladang untuk menanam umbi dan menangkap ikan di sungai untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua.
Meskipun Kareb selalu bekerja keras, ia tidak pernah mendapatkan bantuan dari kakaknya. Mando hanya tahu meminta makan ketika lapar, tanpa peduli bagaimana adiknya berjuang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Suatu hari, persediaan air di rumah mereka habis. Melihat kakaknya yang tetap bermalas-malasan di dalam rumah, Kareb menghela napas panjang.
"Aduh, ko ini kakak tapi pemalas sekali!" gerutunya.
"Sa pu mulut su kering, sa pu badan panas, tapi ko cuma duduk saja. Sudahlah, saya sendiri saja pergi ambil air di Kolam Bone."
Kareb pun mengambil tempurung kelapa dan kendi tanah liatnya, lalu berjalan menuju Kolam Bone, sebuah kolam tua yang terletak jauh di dalam hutan. Hutan yang dilalui Kareb sunyi, hanya terdengar suara burung berkicau dan ranting-ranting yang patah setiap kali ia melangkah. Ia tahu bahwa hutan ini bukanlah tempat sembarangan. Orang-orang desa sering bercerita bahwa Kolam Bone memiliki penunggu, seorang peri perempuan yang tinggal di antara pepohonan besar.
Namun, Kareb tidak takut. Ia melanjutkan langkahnya hingga tiba di tepi kolam. Airnya begitu jernih, memantulkan sinar matahari yang menembus celah dedaunan. Ia menunduk dan mulai mengisi kendi dengan air.
Dari atas pohon besar yang menjulang di pinggir kolam, sepasang mata mengamati Kareb. Sesosok perempuan cantik dengan rambut panjang yang menjuntai seperti benang emas duduk di dahan pohon. Kulitnya bersinar seperti bulan, dan matanya bercahaya seperti bintang di langit malam. Peri itu memiringkan kepalanya dan tersenyum kecil, lalu berkata dengan suara yang lembut, "Kareb… Kau tidak melihatku?" Kareb tetap diam. Ia terus mengisi kendi tanpa menoleh.
Peri itu tersenyum lagi, "Kau datang berkali-kali, tapi selalu mengabaikanku. Apa kau tidak penasaran siapa aku?" Kareb tetap diam. Ia tahu tentang peri ini dari cerita orang tua di kampung. Namun, ia hanya datang untuk mengambil air, bukan untuk mencari masalah.
Namun, hari demi hari berlalu, dan Kareb terus datang ke Kolam Bone untuk mengambil air. Hingga suatu hari, saat ia tengah menimba air, peri itu turun dari pohon dan berdiri tepat di hadapannya. Kareb tertegun. Matanya membelalak saat melihat kecantikan peri itu dari dekat. Hatnya bergejolak, dadanya berdebar kencang. Peri itu bukan hanya cantik, tapi memiliki aura yang begitu menenangkan.
"Siapa namamu?" tanya Kareb dengan suara bergetar.
"Saya… Rinu," jawab peri itu sambil tersenyum.
Sejak pertemuan itu, Kareb tak bisa lagi mengabaikan kehadiran Rinu. Setiap kali ia datang ke Kolam Bone, ia selalu menyempatkan diri berbicara dengan peri itu. Ia menceritakan kehidupannya, tentang kakaknya yang malas, tentang perjuangannya menghidupi mereka berdua. Dan perlahan, ia jatuh cinta pada Rinu. Hingga pada suatu hari, ia memberanikan diri berkata, "Rinu… ikut saya pulang. Jadilah istri saya."
Peri itu terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Saya ikut ko," katanya lembut.
Saat Kareb pulang ke rumah dengan menggandeng seorang perempuan yang cantik jelita, Mando terperangah. Matanya membelalak, hatinya mendidih oleh kecemburuan.
"Sa pu adik bisa bawa perempuan secantik ini? Ini tidak adil!" pikirnya.
Mando dipenuhi rasa iri. Ia menatap Rinu dengan penuh keinginan. Dalam hatinya tumbuh rencana licik untuk menyingkirkan adiknya agar bisa mendapatkan Rinu untuk dirinya sendiri. Suatu hari, ia berpura-pura bersikap baik pada Kareb.
"Adik, sa lihat banyak babi masuk ke hutan. Mari kita pasang jebakan," katanya dengan senyum palsu.
Kareb yang selalu percaya pada kakaknya, mengangguk tanpa curiga. Mereka pun masuk ke dalam hutan.
Di tempat yang tersembunyi, Mando telah menyiapkan sebuah jebakan besar yang terbuat dari ranting-ranting kering dan dedaunan. Begitu Kareb masuk ke dalam jebakan itu, Mando langsung menyulut api obor yang sudah ia siapkan sejak awal. Api menyala besar, melahap seluruh jebakan dalam sekejap.
"SA PU ADIK SU MATI! SEKARANG SA PU GILIRAN DAPAT DIA PUN ISTRI!" teriak Mando dengan tawa penuh kemenangan.
Saat Mando kembali ke rumah, ia berusaha bersikap tenang. Namun, Rinu segera menyadari ada yang tidak beres.
"Dimana Kareb?" tanyanya dengan suara dingin.
Mando tergagap. Ia mencoba menghindari pertanyaan itu, tetapi Rinu bisa melihat kebohongan dalam matanya. Tanpa sepatah kata lagi, ia berlari ke hutan. Saat melihat tubuh Kareb yang hangus terbakar, air mata Rinu mengalir deras. Namun, ia tidak menangis dalam keputusasaan. Ia adalah peri. Ia memiliki kekuatan untuk mengembalikan kehidupan. Dengan lembut, ia menempelkan tangannya pada dada Kareb dan membisikkan mantra kuno. Angin bertiup kencang, daun-daun berputar di udara, dan dalam hitungan detik, Kareb membuka matanya kembali. Mando yang melihat keajaiban itu gemetar ketakutan.
"Saya… saya minta maaf…" katanya terbata-bata.
Namun, Kareb hanya menatapnya dengan mata penuh luka. Ia tahu, kepercayaan yang telah hancur tak bisa kembali. Kareb dan Rinu pergi meninggalkan Mando. Mereka hidup bahagia bersama, sedangkan Mando harus menanggung penyesalan seumur hidupnya. Konon kesakralan tempat tersebut masih terjadi hingga sekarang, siapapun yang lewat kolam tersebut sebaiknya diam dan tidak berisik. Jika ia melanggar maka di dalam keluarganya akan terjadi prahara yang disebabkan oleh rasa cemburu yang muncul secara tiba-tiba persis seperti cerita si kakak yang cemburu dengan adiknya.