Suara Marind

Asal-Usul Pohon Kelapa di Kemayu dan Pohon Sagu di Kimam
Home » Cerita Rakyat  » Asal-Usul Pohon Kelapa di Kemayu dan Pohon Sagu di Kimam

Di suatu masa yang telah lama berlalu, di sebuah kampung kecil di tanah Papua, hiduplah seorang nenek bernama Wamerek. Ia adalah perempuan tua yang bijaksana dan rajin. Setiap hari, ia menghabiskan waktunya di dusun sagu, mengolah tepung sagu yang menjadi makanan utama bagi penduduk kampungnya.

Di pagi hari, sebelum matahari naik tinggi, Wamerek sudah pergi ke dusun, membawa noken berisi pisau, wadah, dan beberapa kelapa sebagai pelengkap makanannya. Ia tahu betul cara memilih batang sagu yang siap ditebang, cara menumbuknya hingga menjadi tepung, dan cara membakarnya hingga menghasilkan papeda yang lezat.

Namun, pada suatu hari yang naas, apa yang dilakukan Wamerek menimbulkan sebuah kejadian yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Hari itu, langit bersih tanpa awan. Wamerek duduk di dekat perapian kecil di bawah pohon rindang, sibuk merau—membakar tepung sagu hingga matang. Asap putih tebal mulai naik ke udara, terbawa angin, lalu menyebar ke seluruh kampung.

Di sisi lain kampung, ada seorang kakek tua bernama Nandeme, yang sangat menjaga kebunnya. Ia menanam pisang, ubi, dan berbagai tanaman lainnya. Ia telah bekerja keras selama bertahun-tahun agar kebunnya subur dan hijau. Namun, hari itu, nasib berkata lain.

Asap dari perapian Wamerek merayap ke kebun Nandeme. Bau hangus memenuhi udara. Tak butuh waktu lama sebelum daun-daun di pohon pisangnya mulai menguning dan berguguran. Ubi-ubi yang baru ditanamnya tampak layu. Angin terus berhembus, membawa kepulan asap lebih banyak lagi hingga seluruh kebunnya seperti diselimuti kabut tebal.

Saat Nandeme melihat keadaan kebunnya, darahnya mendidih. Ia segera berjalan dengan langkah berat menuju tempat Wamerek berada.

"Hey, ko su bikin apa ini?!" teriaknya, wajahnya merah padam menahan marah.
"Ko lihat sa pu kebun! Semua rusak! Daun gugur, pisang sa tanam su mati semua!"

Wamerek terkejut. Ia berusaha menjelaskan, tapi suaranya gemetar.

"Kakek… saya tidak sengaja. Saya hanya bakar tepung sagu untuk makan…"

Namun, Nandeme tak mau mendengar alasan. Ia menunjuk wajah Wamerek dengan jari telunjuknya yang gemetar.

"Pergi! Pergi dari sini! Saya tidak mau lihat ko lagi! Ko su bikin hancur semua!"

Hati Wamerek hancur. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Seluruh hidupnya ia habiskan di kampung itu, dan sekarang ia diusir seperti orang asing. Namun, ia tahu bahwa berdebat tidak akan mengubah keadaan.

Dengan hati yang berat, Wamerek berjalan menuju rumahnya. Ia mengambil noken dan mengisinya dengan tepung sagu dan kelapa—satu-satunya bekal yang ia miliki. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan kampungnya, menyeberangi sungai besar yang membelah tanah Papua.

Wamerek berjalan selama berhari-hari, melewati hutan, bukit, dan sungai. Matahari menyengat kulitnya, dan kakinya mulai lelah.

Ketika ia tiba di sebuah daerah yang sekarang disebut Kemayu, ia berhenti untuk beristirahat. Ia duduk di bawah pohon besar, membuka noken-nya, dan mengambil sebutir kelapa.

"Ah… saya lapar…" gumamnya pelan.

Dengan hati-hati, ia memecahkan kelapa dan meminum airnya. Namun, dalam kelelahan, tangannya melemah, dan kelapa itu terlepas dari genggamannya, menggelinding ke tanah yang lembab.

Ia hanya bisa melihat kelapa itu terbawa arus air dan masuk ke dalam lumpur. Tidak bisa mengambilnya kembali, ia hanya menghela napas, bangkit, dan melanjutkan perjalanan.

Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya ia tiba di suatu daerah lain yang kini dikenal sebagai Kimam. Perutnya mulai kosong, dan rasa lapar kembali menyerangnya. Ia ingin mengambil sedikit tepung sagu dari noken-nya untuk dimakan. Namun, saat ia membuka noken, tepung sagunya tertumpah ke tanah.

"Aduh! Saya punya tepung sagu! Habis sudah…"

Tak ada yang bisa ia lakukan selain menatap sedih butiran tepung sagu yang bercampur dengan tanah. Namun, ia tetap melanjutkan perjalanan, meskipun hatinya berat.

Penyelesaian

Bertahun-tahun kemudian, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Di Kemayu, tempat Wamerek menjatuhkan kelapanya, tumbuh subur pohon kelapa yang tak terhitung jumlahnya. Orang-orang yang datang ke daerah itu menemukan buah yang bisa diminum airnya dan dimakan dagingnya.

Sementara itu, di Kimam, tempat tepung sagu Wamerek tertumpah, hutan sagu raksasa mulai tumbuh. Daerah itu kini dikenal sebagai salah satu penghasil sagu terbesar di Papua Selatan.

Orang-orang mulai bertanya-tanya, bagaimana kedua daerah itu bisa memiliki tanaman yang berlimpah?

Para tetua adat kemudian menceritakan kisah tentang Nenek Wamerek, perempuan tua yang terusir dari kampungnya namun meninggalkan jejak yang penuh berkah. Kesedihannya telah berubah menjadi kehidupan bagi banyak orang.