Pada zaman dahulu, di sebuah kampung bernama Kampung A, hiduplah seorang pemuda bernama Sani. Kampung ini terkenal karena memiliki api, sesuatu yang sangat berharga dan tidak dimiliki oleh kampung lain. Dengan api, orang-orang Kampung A bisa memasak berbagai macam makanan—ikan bakar, ubi panggang, daging asap—semua terasa lezat karena api yang mengubahnya dari mentah menjadi matang.
Di seberang hutan, ada kampung lain yang bernama Kampung B, tempat tinggal Ndiken, sahabat Sani sejak kecil. Berbeda dengan Kampung A, di Kampung B orang-orang masih makan makanan mentah. Mereka terbiasa makan ikan yang baru ditangkap langsung dari sungai, menggigit daging keras tanpa mengolahnya, dan mengunyah umbi-umbian yang pahit rasanya. Mereka tidak tahu bagaimana cara membuat api, dan karena itu, makanan mereka terasa hambar dan sulit dikunyah.
Sani dan Ndiken bersahabat sejak kecil. Setiap hari mereka bermain di hutan, mengejar burung, memanjat pohon, dan berenang di sungai yang jernih. Mereka sering berbagi cerita tentang kehidupan di kampung masing-masing, saling membandingkan cara hidup mereka.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di bawah pohon besar, Sani tiba-tiba mengajak Ndiken untuk datang ke Kampung A. "Ndiken, ko ikut saya ka? Saya mau kasi tunjuk sesuatu di kampung saya!" Ndiken menatap sahabatnya dengan penasaran."Eee, saya mau juga! Saya dari dulu penasaran, apa yang bikin ko pu kampung itu enak sekali?"
Dengan penuh semangat, mereka berjalan melewati hutan. Langkah kaki mereka menapaki tanah lembut yang tertutup dedaunan kering. Cahaya matahari yang menembus celah pepohonan menari-nari di permukaan sungai kecil yang mereka lewati. Sesekali, burung berkicau di atas dahan, seakan ikut menyambut perjalanan mereka.
Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka tiba di Kampung A. Saat memasuki kampung, mata Ndiken membesar melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya—api menyala di setiap rumah! Di sepanjang jalan, orang-orang duduk di depan rumah mereka, memanggang ikan di atas api, memasak air dalam periuk tanah liat, dan meniup bara kayu agar apinya tetap menyala. Bau harum makanan yang dimasak memenuhi udara, menggelitik perut Ndiken yang mulai keroncongan.
"Eee! Sani, ini apa?! Kenapa di semua rumah ada itu api menyala?!" Sani tertawa kecil, lalu menepuk pundak sahabatnya."Ndiken, ini dong bilang api. Ini yang bikin makanan jadi matang, enak, empuk! Ko tunggu sebentar, saya kasi ko coba!"
Sani mengajak Ndiken ke rumahnya. Di dalam, ibunya sedang sibuk di dapur, membalik ikan yang dipanggang di atas bara api. Uap panas mengepul dari panci yang sedang digunakan untuk memasak sup daging. Aroma rempah yang khas bercampur dengan asap kayu bakar, membuat perut Ndiken semakin bergejolak.
Sani mengambil sepotong daging panggang dan menyerahkannya pada Ndiken. "Ko coba ini!" Ndiken meniup-niup daging yang masih panas, lalu menggigitnya. Seketika matanya berbinar. "WADUUHH! Ini makanan enak sekali! Dia lembut, wangi, manis di lidah! Tidak macam di kampung saya, makan semua mentah, keras, bikin gigi sakit!" Sani tersenyum bangga. "Makanya, Ndiken! Ini semua karena api. Ko lihat, di sini semua orang makan enak karena kita bisa masak!" Ndiken terdiam. Di dalam hatinya, muncul satu niat jahat yang tidak bisa ia redam.
"Saya harus bawa ini api ke kampung saya! Mama, bapa, dong semua harus rasa ini juga!"
Malam harinya, setelah semua orang tertidur, Ndiken bangun diam-diam. Dengan hati-hati, ia berjalan ke dapur rumah Sani, mengambil sebatang kayu dan menyalakannya di api unggun. Bara merah menyala di ujung kayu, cahayanya berpendar di wajah Ndiken yang dipenuhi rasa bersalah, tapi juga keteguhan hati untuk membawa pulang api ini ke kampungnya.
Setelah membungkus api itu dengan daun agar tidak terlihat, ia segera berlari meninggalkan Kampung A. Di dalam rumahnya, Sani tiba-tiba terbangun. Hatinya merasa tidak enak. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas ke dapur.
"Astaga! Api saya hilang?! Siapa yang ambil ini?!" Sani berpikir sejenak, lalu matanya melebar. "Ndiken… ko kah?!" Sani merasa dikhianati. Sahabat yang paling ia percaya ternyata mencuri sesuatu yang sangat berharga. Dengan penuh kemarahan, ia duduk bersila di depan rumah dan mulai melakukan ritual kuno.
"Roh leluhur, saya minta tolong. Ko lihat ini Ndiken dia bikin apa? Biar ini api yang dia curi kasi dia pelajaran!" Di tengah perjalanan, Ndiken masih berlari dengan gembira.
"Saya bawa api pulang! Eee, mama bapa pasti senang sekali!" Namun, tiba-tiba… WOOSSHH! Api yang ia bawa membesar! Bara merah menyala-nyala, seolah memiliki nyawa sendiri.
"Eee? Kenapa api ini besar?!" Ndiken mulai panik. Tiba-tiba, api itu menyambar tangannya!
"Aaaaaaahhh! Panas! Panas!" Ndiken menjerit!
Ia mencoba meniup api itu, mencoba memadamkannya, tapi api malah makin membesar! Api menjalar ke kakinya, wajahnya, hingga seluruh tubuhnya. Tangan dan kakinya meleleh menjadi berselaput Ajaib! Kulitnya mulai berubah! Kulitnya menjadi kasar, bersisik, dan berwarna coklat kehijauan. Lidahnya keluar panjang dengan ujung bercabang dua.
"Eee?! Saya jadi apa ini?!"
Ndiken melihat bayangannya di air… dan ia bukan manusia lagi! Ia telah berubah menjadi kadal! Ndiken menangis, ingin kembali ke kampung, ingin meminta maaf pada Sani. Tapi sudah terlambat. Ia tak bisa berbicara lagi. Mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara cesss… ccccessss… seperti suara angin yang keluar dari batu panas. Di kampung, Sani melihat semua yang terjadi. Ia berdiri diam, lalu menundukkan kepala.
"Ndiken… saya tidak pernah mau ini terjadi. Tapi ko sudah bikin salah besar…"
Sejak saat itu, orang percaya bahwa kadal adalah jelmaan Ndiken yang dikutuk karena mencuri api. Kadal hidup di tanah, jalannya lambat, kulitnya panas, dan lidahnya selalu menjulur sebagai tanda bahwa pengkhianatan selalu ada balasannya.