Dahulu kala di suatu desa di daerah… hiduplah Tete dan Nenek yang memiliki seorang anak laki-laki yang bernama... Tete dan Nenek sangat menyayangi anak mereka satu-satunya itu meskipun hidup dalam kesederhanaan, bertahan hidup dengan cara berkebun. Hari demi hari mereka lalui layaknya warga lain di kampung tersebut seperti membuka ladang untuk menanam pisang, singkong, dan gumbili, membersihkan kebun dari rerumputan serta mencangkul tanah di sekitaran tanaman.
Tahun-tahunpun berlalu hingga bertambah besarlah anak Tete dan Nenek menjadi seorang pria yang tampan, baik, dan penyayang.
“Anaku, sekarang ko su besar... bantu Bapa deng Mama kerja di ladang, jangan ko main main dengan teman saja seharian baru ko pulang minta makan, nanti Mama kasi picah ko pu kepala”, kata Nenek pada anak laki-lakinya.
“Ah Mama, tanpa Mama bilang begitu sa mau bantu Mama dan Bapa di ladang. Dong tidak usah capek lagi karena anak su besar, anak ganti Bapa kerja di ladang”, jawab si anak.
“Kamu jaga kebun pisang di bagian depan sana, kemarin macam ada orang mau curi kita pu buah pisang”, kata Tete menimpali.
Keesokan harinya si anak pergi ke ladang pisangnya dan berjaga jaga di sana hingga matahari terbenam. Begitu seterusnya dia berjaga di kebun pisang beberapa hari hingga hari ke empat. Saat itu matahari bersinar cukup terik, namun angin berhembus kencang dan beberapa daun pisang tersibak. Si anak sedang beristirahat duduk di bawah pohon pisang yang rindang sembari sesekali mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di sekitaran pisang-pisangnya. Namun saat ia melayangkan pandangannya jauh di rindangnya daun-daun pisang yang tersibak angin, ia sangat terkejut melihat banyak daun pisangnya yang hilang meninggalkan tangkai yang baru saja dipotong dengan parang.
“Kerja siapa ini? Berani-beraninya ada pencuri di saat pemiliknya tidur. Sa tidak bisa biarkan”, kata si anak dengan geram melihat hilangnya daun pisang miliknya. Lalu ia mengambil langkah seribu untuk mundur ke belakang dan bersembunyi di belakang gubuk yang terbuat dari batang bambu dan daun sagu sebagai atapnya. Ia mengintip ke luar dan melayangkan pandangannya ke kebun pisangnya yang lebat itu. Tak lama kemudian, ia melihat sebuah bintang jatuh dari langit ‘Bukkkkk’ begitu besar suara dan getarannya hingga terdengar dari kejauhan. Si anak tersebut mulai mendekati tempat di mana bintang tersebut jatuh dan sayapa kagetnya ia ketika melihat seorang wanita berparas cantik. ‘Siapa ko pu nama?’. Kenapa ko mencuri pisang-pisang saya?
Dengan suara bergetar wanita tersebut menjawab ‘Sa… Sa.. Saya minta maaf telah mencuri pisang-pisangmu. Dan sebagai gantinya saya mau menjadi pendamping hidupmu’.
Mendengar jawaban dari pereempuan tersebut si anak merasa kaget sekaligus senang mengingat ia sendiri masih lajang dan belum pernah ada wanita yang dekat dengannya. Anak itupun meng ‘iyakan’ untuk menikah dan berjanji sehidup semati. Baik, berikut kelanjutan cerita sesuai dengan inti yang sudah ada:
Hari-hari berlalu, si anak dan istrinya hidup bahagia. Sang wanita, yang dulunya jatuh dari langit, adalah istri yang baik dan penuh kasih. Ia merawat suaminya dan kedua mertuanya dengan setia. Mereka bekerja bersama di ladang, menanam pisang, singkong, dan gumbili seperti yang biasa dilakukan keluarga itu.
Setelah beberapa tahun, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan dan cerdas. Anak itu tumbuh dengan lincah, suka berlari-lari di sekitar kebun dan bermain panah dengan ayahnya. Keluarga kecil itu tampak sempurna, penuh kebahagiaan. Namun, suatu hari, ketika anak itu sedang bermain dengan busur dan panah kecilnya, ia tak sengaja memanah kaki Tete. Panah itu tidak melukai terlalu dalam, tapi cukup membuat Tete kesakitan. Dengan amarah, Tete berteriak,
"Ko ini anak apa? Ko bukan manusia biasa, ko hanya anak bintang yang jatuh dari langit! Ko bukan bagian dari kita!"
Si anak yang mendengar kata-kata itu terdiam. Ia tak mengerti maksudnya, tapi ia tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Ia pun bertanya kepada ibunya,
"Mama, apa benar yang Tete bilang? Saya ini anak bintang? Mama juga bintang?"
Mendengar itu, sang ibu tersentak. Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar. Ia menoleh ke suaminya yang juga terlihat kebingungan dan cemas. Kemarahan membuncah di hatinya. Ia tak pernah ingin anaknya mengetahui asal-usulnya seperti ini.
"Siapa yang bilang itu?! Kenapa kalian memberitahu anakku?!" teriaknya dengan suara yang bergetar.
Tete dan Nenek terdiam, menyadari kesalahan mereka. Tapi semuanya sudah terlambat. Sang ibu tahu bahwa rahasianya telah terbongkar. Ia berjalan ke luar rumah, menatap langit yang mulai gelap. Dengan air mata mengalir di pipinya, ia berkata lirih,
"Aku sudah berjanji untuk tinggal di sini, tapi jika anakku tahu asal-usulnya, aku harus kembali."
Suaminya berlari menghampirinya. "Jangan pergi! Kita bisa tetap bersama!"
Tapi sang wanita hanya tersenyum sedih. Ia mengangkat tangan, dan tiba-tiba angin berhembus kencang. Tubuhnya mulai bersinar perlahan, semakin terang hingga menyilaukan mata. Dalam sekejap, ia melayang ke langit. Suami dan anaknya berusaha meraihnya, tapi sia-sia.
"Mamaaa! Jangan pergi!" seru anaknya sambil menangis.
Sang suami jatuh berlutut, menatap langit dengan putus asa. "Maafkan aku... Aku tidak bisa menjagamu..."
Tete dan Nenek pun menangis dalam penyesalan. Mereka sadar bahwa kata-kata yang diucapkan dalam kemarahan telah merenggut kebahagiaan keluarga mereka.
Malam itu, sebuah bintang baru bersinar terang di langit. Itu adalah sang wanita, yang kini kembali ke tempat asalnya. Ia tetap melihat keluarganya dari atas, meski tak bisa lagi bersama mereka.
Sejak saat itu, setiap malam sang suami dan anaknya selalu menatap bintang itu, mengenang sosok yang mereka cintai. Dan mereka belajar bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan karena kata-kata yang terucap tanpa pikir panjang.